PBB Hapus Ganja Dari Daftar Narkotika Berbahaya -->

Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

PBB Hapus Ganja Dari Daftar Narkotika Berbahaya

Kamis, 29 April 2021 | April 29, 2021 WIB | 0 Views Last Updated 2021-04-29T15:04:28Z

PBB Hapus Ganja Dari Daftar Narkotika Berbahaya

Komisi PBB untuk Narkotika Narkoba (CND) mengambil sejumlah keputusan pada hari Rabu (2/12/2020), yang mengarah pada perubahan cara penggunaan marijuana atau ganja (Cannabis Sativa) dan diatur secara internasional, termasuk klasifikasi ulang dari kategori obat yang paling berbahaya.

Badan Narkotika Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Commission on Narcotic Drugs / CND) pada Rabu (2/12/2020) silam sepakat untuk menghapus ganja (Cannabis Sativa) atau marijuana dari kategori obat-obatan narkotika yang paling dikontrol ketat atau berbahaya.

Hal ini dilakukan lantaran dianggap sejalan dengan berbagai temuan penelitian yang membuktikan bahwa ganja memiliki efek terapeutik. Sebelumnya, Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization / WHO) telah memberikan enam rekomendasi pada 2019 untuk meninjau ulang ganja beserta turunannya yang diatur dalam “The 1961 Single Convention on Narcotic Drugs.”

Adanya rekomendasi untuk meninjau ganja tersebut kemudian direspons dengan melakukan pertemuan di Wina, Austria pada awal Oktober 2020.

Keputusan mengeluarkan ganja dari daftar berbahaya tersebut mengikuti rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk membuat penelitian tentang penggunaannya guna keperluan medis yang lebih mudah.

Pertemuan tahunan Komisi Obat-Obatan Psikotropika Badan PBB untuk Narkotika dan Kejahatan (UNODC) di Wina, Austria, sepakat menghapus ganja dan resin ganja dari “Golongan IV Konvensi Tunggal Narkotika 1961” menjadi Golongan I, tentang Narkotika yang mengatur pengendalian narkotika.

Berdasarkan keterangan resmi CND, sebelumnya pada Januari 2019, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) membuat serangkaian rekomendasi untuk mengubah ruang lingkup pengendalian ganja dan zat terkait ganja.

Setelah pertimbangan intensif itu, komisi CND mengambil keputusan pada Rabu (2/12/2020) atas rekomendasi WHO tersebut.

“Harus dipahami bahwa hasil voting CND itu tidak menghapus ganja dari penggolongan zat yang kemungkinan di-abuse (disalahgunakan),” kata dr Hari Nugroho, MSc selaku peneliti dan pakar adiksi dari Mental Health Addiction and Neuroscience Jakarta pada Jumat (4/12/2020).

Namun, menurut laporan berita, keputusan tersebut juga dapat mendorong penelitian ilmiah tambahan ke dalam khasiat pengobatan tanaman yang telah lama digembar-gemborkan dan bertindak sebagai katalisator bagi negara-negara untuk melegalkan obat tersebut untuk penggunaan obat, dan mempertimbangkan kembali undang-undang tentang penggunaan rekreasi.

Menang di Voting / Pungutan Suara

Sebanyak 53 Negara Anggota CND memilih untuk menghilangkan ganja, yang telah ditempatkan selama 59 tahun dari jadwal kontrol yang paling ketat (strictest control schedules), bahkan melarang penggunaannya untuk tujuan medis.

Dalam pemungutan suara, PBB mengatakan dalam pernyataan, sebanyak 27 negara anggota UNODC setuju menghapus ganja dari daftar, dan 25 negara lainnya menolak, dengan satu abstain.

Dalam pemungutan suara pada hari Rabu (2/12/2020), PBB mengatakan dalam pernyataan, sebanyak 27 negara anggota UNODC setuju menghapus ganja dari daftar, dan 25 negara lainnya menolak, dengan satu abstain.

Terdapat perbedaan tipis dari hasil voting yang dilakukan PBB, yaitu 27/25. Para pendukung penghapusan ganja dari daftar obat terlarang berasal dari Amerika Serikat dan Eropa.

Negara-negara yang menolak ganja dijadikan sebagai obat medis adalah Cina, Mesir, Pakistan, Nigeria, dan Rusia. Negara yang melakukan penolakan ini memiliki kekhawatiran terhadap bahaya dan penyalahgunaan fungsi ganja sebagai obat.

Dengan perolehan suara bersejarah sebanyak 27 suara mendukung, 25 menentang, dan satu abstain, CND telah membuka pintu untuk mengenali potensi pengobatan dan terapi dari obat-obatan rekreasi yang umum digunakan, tetapi sebagian besar masih ilegal.

Hasil pemungutan suara itu mengikuti rekomendasi WHO pada 2019 yang menyebutkan:

“Ganja dan resin ganja harus diatur pada tingkat kontrol yang akan mencegah kerusakan yang disebabkan oleh penggunaannya, dan saat yang sama tidak menjadi penghalang untuk penelitian dan pengembangan ganja buat penggunaan medis”.

Komisi diputuskan oleh 27 suara yang mendukung dan 25 suara yang menolak anjuran ini, maka penggunaan ganja dan resin ganja akan dihapus dari Golongan IV (tertulis Schedule IV) dan berada di Golongan I. Dengan demikian, penggunaan ganja tetap tunduk pada semua tingkat kendali Konvensi Tunggal 1961 tersebut.

Hasil voting yang dilakukan PBB ini menjadi ujung tombak bagi berbagai negara untuk lebih banyak melakukan penelitian dan meninjau ulang mengenai regulasi terkait ganja yang berhubungan dengan fungsi medis.

Obat lain dalam Golongan IV (tertulis Schedule IV / Jadwal IV) termasuk heroin, analog fentanil, dan opioid lainnya yang berbahaya dan seringkali mematikan. Sebaliknya, ganja tidak membawa risiko kematian yang signifikan, dan telah menunjukkan potensi dan fakta dalam mengobati rasa sakit juga kondisi seperti epilepsi, menurut temuan WHO.

Mengutip New York Times (2/12/2020), Wakil Presiden di Canopy Growth (sebuah perusahaan ganja Kanada), Dirk Heitepriem mengungapkan bahwa hasil voting adalah sebuah langkah yang besar.

Ia berharap bahwa keputusan tersebut dapat mendorong negara-negara lain untuk mempermudah pasien mengakses obat, khususnya ganja. PBB yang sudah menganggap ganja sebagai obat akan berdampak besar pada industri ganja dunia.

Bagaimana Dengan Keputusan PBB Terhadap Sikap Indonesia?

Menanggapi keputusan tersebut, Kepala Biro Humas dan Protokol Badan Narkotika Nasional (BNN) saat itu, Brigjen Sulistyo Pudjo mengatakan, ganja tidak dicabut dari daftar obat-obatan berbahaya, melainkan masih tergolong dalam narkotika.

Menurut Pudjo hal ini menjadi poin yang penting dan rawan disalahartikan. “Bukan dicabut, itu dihapus dari Golongan IV, jadi bukan dicabut dari obat berbahaya, masih narkoba itu,” katanya pada Jumat (4/12/2020).

Pudjo menjelaskan, penghapusan ini berdasarkan voting dari beberapa negara dan sampai saat ini masih menjadi perdebatan pro-kontra. “Itu hasil voting kemarin di seluruh dunia yang mau menghapus dari Golongan IV daftar narkotika paling berbahaya, ada 27 negara, sementara yang kontra ada 25 negara,” lanjutnya.

Namun, Pudjo menekankan bahwa ia selaku pihak dari BNN mengatakan akan banyak produsen farmasi baik di negara yang ingin mengeluarkan ganja dari Golongan IV tadi.

Berkaca pada kondisi di Indonesia, Indonesia tidak setuju Pudjo mengatakan bahwa Indonesia termasuk negara yang tidak setuju dengan penghapusan ganja dari Golongan IV.

Selain Indonesia, ada Singapura, Malaysia, China, dan sejumlah negara lainnya yang juga tidak setuju dengan penghapusan ganja. “Jangankan ganja, di Indonesia miras juga dilarang. Tapi, balik lagi, tiap negara beda menghadapi berbagai masalah,” ujar Pudjo.

Dia bilang, yang dikhawatirkan dari penghapusan ini menurutnya adalah sejumlah perusahaan farmasi memproduksi obat yang terbuat dari ganja dan masuk ke pasar Indonesia.

“Menangani masalah perdebatan tersebut akan didiskusikan dan dilakukan kajian lebih mendalam, karena efeknya menjadikan negara-negara yang pro-kontra terpecah,” katanya melanjutkan.

Kementan sempat tetapkan ganja sebagai tanaman obat binaan, namun dicabut kembali

  • Ditetapkan Kemeterian Pertanian

Sebelum penetapan PBB tersebut, tentang menghapus ganja (Cannabis Sativa) dari kategori obat-obatan narkotika yang paling dikontrol ketat atau berbahaya, Ganja atau yang bernama latin Cannabis Sativa ditetapkan sebagai tanaman obat binaan oleh Kementerian Pertanian..

Hal tersebut tercantum dalam Keputusan Menteri Pertanian nomor 104 tahun 2020 tentang Komoditas Binaan Kementerian Pertanian (Kementan). Ganja masuk dalam komoditas tanaman obat di bawah Direktorat Jenderal Hortikultura.

Tertulis pada diktum kedua keputusan tersebut.

“Komoditas binaan sebagaimana dimaksud dalam diktum KESATU dan produk turunannya dibina oleh Direktorat Jenderal masing-masing sesuai dengan kewenangannya,”

Perlu diketahui bahwa sebelumnya sudah banyak negara di dunia yang telah menetapkan ganja sebagai obat. Salah satunya yang paling dekat adalah Thailand yang menetapkan 17 formula obat yang mengandung ganja.

Sementara itu di Indonesia, ganja masih masuk dalam narkotika golongan I pada Undang Undang 35 tahun 2009 tentang narkotika. Pada UU tersebut diatur mengenai produksi, kepemilikan, dan konsumsi.

Produksi dan distribusi ganja dapat menjerat pelaku dengan hukuman hingga seumur hidup dan hukuman mati. Sementara untuk penyalahgunaan ganja dihukum maksimal 4 tahun penjara.

Keputusan Menteri Pertanian yang menetapkan ganja sebagai tanaman obat binaan berlaku sejak ditetapkan pada 3 Februari 2020 lalu oleh Syahrul Yasin Limpo.

  • Keputusan dicabut kembali oleh Kemeterian Pertanian

Kementerian Pertanian (Kementan) mencabut Keputusan Menteri yang mencantumkan ganja sebagai komoditas tanaman obat binaan.

Sebelumnya ganja masuk dalam daftar tanaman binaan Kementan dalam Keputusan Menteri Pertanian nomor 104 tahun 2020. Ganja dimasukkan dalam komoditas tanaman obat di bawah Direktorat Jenderal Hortikultura.

Namun, Kepmen tersebut dicabut sementara untuk dievaluasi. Kementan akan berkoordinasi dengan pihak yang memiliki kewenangan dalam ganja tersebut seperti Kementerian Kesehatan, Badan Narkotika Nasion, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

“Kepmentan 104/2020 tersebut sementara akan dicabut untuk dikaji kembali dan segera dilakukan revisi berkoordinasi dengan stakeholder terkait,” ujar Direktur Sayuran dan Tanaman Obat Tommy Nugraha dalam siaran pers, Sabtu (29/8/2020).

Tommy bilang sejak tahun 2006 pembinaan terhadap ganja dengan mengalihkan tanaman ganja menjadi tanaman produktif lainnya. Oleh karena itu saat ini tidak ada petani ganja legal di Indonesia.

Pengaturan ganja sebagai tanaman obat haya ditujukan untuk keperluan tertentu. Antara lain adalah untuk kepentingan keilmuan.

“Pengaturan ganja sebagai kelompok komoditas tanaman obat, hanya bagi tanaman ganja yang ditanam untuk kepentingan pelayanan medis dan atau ilmu pengetahuan, dan secara legal oleh UU Narkotika,” terang Tommy.

Tommy menambahkan saat ini Kementan terus bekerja sama dengan BNN dalam menangani tanaman ganja ilegal. Hal itu terkait pengalihan ke pertanian tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan, pada daerah-daerah yang selama ini menjadi wilayah penanaman ganja secara ilegal. (IndoCropCircles / berbagai sumber)


Sumber: Eramuslim

×
Berita Terbaru Update
close