Siapa Yang Toxic “Jokowi atau LBP?” -->

Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Siapa Yang Toxic “Jokowi atau LBP?”

Rabu, 08 Mei 2024 | Mei 08, 2024 WIB | 0 Views Last Updated 2024-05-08T13:45:33Z

Presiden Joko Widodo menyambut baik pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang meminta kepada Prabowo untuk tidak membawa orang toxic atau bermasalah masuk pemerintahan.

“Sudah bener dong. Bener, bener,” kata Presiden Jokowi Selasa. (7/5/2024)

Pernyataan Jokowi seperti itulah, yang ingin saya kritisi, secara normative, karena poisisinya ia juga sekaligus sebagai Kepala Negara.

Fenomena toksisitas dalam politik sering kali menjadi bagian dari dinamika yang terjadi antara partai politik. 

Kritik tajam dan retorika yang keras sering digunakan sebagai strategi untuk meraih dukungan dan meredam lawan politik. 

Namun, ketika toksisitas ini merembes ke dalam tingkat kepemimpinan negara, terutama dari seorang kepala negara, itu menimbulkan keprihatinan yang serius.

Ketika seorang pemimpin negara menggunakan bahasa atau perilaku toksik, itu mencerminkan kurangnya sikap yang sesuai dengan jabatan yang diemban. 

Seorang kepala negara diharapkan untuk memperlihatkan sikap yang bijaksana, penuh hikmat, dan dapat mempersatukan rakyatnya. 

Namun, ketika ia menggunakan bahasa yang merendahkan, menyerang secara pribadi, atau memprovokasi dengan sengaja, hal itu menciptakan polarisasi dan konflik yang dapat merusak kesatuan dan stabilitas negara.

Toksik dalam konteks politik dapat merujuk pada beragam perilaku atau ucapan yang merugikan, termasuk penistaan, pemfitnahan, atau intimidasi.

Ini seringkali menjadi bagian dari strategi politik untuk menyerang lawan atau memperoleh keunggulan dalam persaingan politik. 

Namun, perlu diingat bahwa politik seharusnya menjadi wadah untuk membahas perbedaan pendapat secara damai dan konstruktif, bukan sebagai ajang untuk menyebarkan kebencian atau menciptakan ketidakharmonisan.

Ketika seorang kepala negara terlibat dalam perilaku atau ucapan toksik, ini bukan hanya mencoreng citra dirinya sendiri, tetapi juga mencoreng citra negaranya. 

Hal ini dapat merusak reputasi internasional negara tersebut dan mengurangi kepercayaan masyarakat dalam kemampuan pemerintah untuk memimpin dengan bijaksana dan adil.

Selain itu, toksisitas dalam politik juga dapat membawa dampak negatif pada proses demokrasi secara keseluruhan. 

Ketika pemimpin negara menggunakan bahasa yang merendahkan atau menyerang, hal itu dapat mempengaruhi perilaku dan sikap masyarakat secara keseluruhan. 

Ini bisa memicu polarisasi yang lebih besar, memperkeruh suasana politik, dan menghambat dialog yang konstruktif.

Untuk mengatasi toksisitas dalam politik, penting bagi pemimpin negara untuk memberikan contoh yang baik dan menegaskan pentingnya toleransi, penghargaan terhadap perbedaan, dan penyelesaian konflik secara damai. 

Pendidikan politik yang baik juga diperlukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga bahasa dan perilaku yang santun dalam berpolitik.

Dengan memperkuat nilai-nilai demokrasi, mengedepankan dialog yang terbuka dan inklusif, serta mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi atau partai, kita dapat mengurangi toksisitas dalam politik dan membangun masyarakat yang lebih harmonis dan stabil secara politik.

Sumber: fusilatnews
Foto: Kolase Presiden Joko Widodo dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan/Net
×
Berita Terbaru Update
close