GILA...!! Surat Al-Kafirun Mau Direvisi dengan Alasan Toleransi -->

Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

GILA...!! Surat Al-Kafirun Mau Direvisi dengan Alasan Toleransi

Sabtu, 02 April 2022 | April 02, 2022 WIB | 0 Views Last Updated 2022-04-02T13:45:38Z
MEREVISI QUR'AN

Barangkali ada yang tidak percaya bahwa Mun'im Sirry (penulis buku di atas) telah merevisi kandungan al-Quran. 

Ini saya lampirkan buktinya dari buku "Kemunculan Islam". Huruf lam alif (لا) yang termaktub dalam surat al-kafirun itu, menurut Mun'im, harusnya diganti menjadi huruf lam (ل) saja, sehingga ketika itu maknanya bukan menafikan lagi (لا = Tidak), tapi menjadi penegasan (ل = Sungguh/Sebenarnya). 

Anda perhatikan hasil terjemahan itu dalam foto yang terlampir (gambar di atas). 

Kenapa dia berani melakukan revisi itu? Qira'at apa yang dia gunakan? Nggak ada. Orang kaya dia mana peduli sama yang namanya qira'at. Itu murni permainan nalar liarnya aja.

Bagi Mun'im, redaksi Qur'an yang menyebut "aku tidak menyembah apa yang kalian sembah" itu tidak mencerminkan toleransi yang sejati. Ayat ini nggak toleran, ayat terakhir (lakum dinukum waliya din) malah toleran. Kan jadi kontradiksi dong antara ayat satu dengan yang lainnya kata Mun'im. Yaudah alif nya dibuang aja dah kalau gitu. Biar nggak ada kontradiksi. 

Begitu cara dia menafsirkan qur'an itu. 

Padahal dia paham hukum kontradiksi juga nggak. Bagi yang belajar logika, tak ada kontradiksi sama sekali dalam ayat itu. Tapi bagi Mun'im itu ada. Karena dia meminjam nalar dari bangsa laen. Bukan mikir pake nalar manusia.

Pengurangan alif dari kalam Allah itu berani dia lakukan, karena dia suka merujuk pada riwayat ahad. Di antara riwayat yang cukup sering dia kutip ialah riwayat yang menyebutkan bahwa Ubaidullah bin Ziyad telah menambahkan 2000 alif. Padahal riwayat itu sendiri belum tentu sahih. Dan dia juga nggak mau menelisik lebih jauh, penambahan apa yang dimaksud dalam riwayat itu? Menambah sesuatu bukan bagian dari Al-quran atau apa? 

Dia nggak akan mempedulikan itu. Sarjana super kritis seperti dia nggak bakal peduli sama yang namanya studi sanad ataupun ilmu jarh wa ta'dil. Meskipun metode dalam ilmu itu sendiri sudah begitu mapan dan benar-benar ilmiah. Riwayat yang bisa mendukung klaimnya dia ambil. Yang nggak, dia buang aja. Begitu aja metodenya. Kalaupun riwayat itu sahih, itu riwayat ahad. Nggak akan bisa menggugat riwayat yang sudah mutawatir. Sementara qur'an yang ada di hadapan kita sekarang itu adalah hasil periwayatan yang mutawatir. Dan itulah keistimewaan al-Quran. 

Anda cari kitab suci manapun di dunia ini, yang kandungannya diriwayatkan oleh manusia dengan jumlah yang sangat banyak, dari generasi ke generasi, sampai kepada penerimanya yang pertama, tanpa ada pengurangan dan penambahan huruf sama sekali. Adakah kitab suci yang punya keistimewaan itu selain al-Quran? Ragam bacaan yang 10 itu diriwayatkan secara mutawatir. Para penghafalnya tersebar di mana-mana. Sanadnya jelas sampai ke nabi. Kalaupun ada penyelewengan, pastilah mereka mengoreksi satu sama lain. Dan itulah yang membuat kita yakin bahwa al-Quran yang ada sekarang itu otentik, dan dia sepenuhnya adalah firman Allah Swt.

Quran itu baru bisa disebur qur'an kalau diriwayatkan secara mutawatir. Kalau riwayatnya ahad, lalu diklaim sebagai bagian dari al-Quran, ya berarti itu bukan qur'an. Sesederhana itu. Mun'im mana paham urusan begituan. Bagi Mun'im nggak. Riwayat mutawatir itu bisa aja diragukan dengan riwayat ahad. 245 orang datang kepada Anda untuk mengabarkan bahwa korban kecelakaan itu jumlahnya 7 orang . Lalu, ada 3 orang datang mengabarkan bahwa yang menjadi korban itu jumlahnya 5 orang. Kira-kira mana yang lebih dapat Anda percaya? Jelas, yang bernalar sehat akan bilang bahwa kabar yang diinformasikan oleh orang banyak itu jauh lebih meyakinkan ketimbang yang disampaikan oleh segelintir orang doang. 

Tapi, kalau mengikuti logika Mun'im, yang suka meragu-ragukan keotentikan al-Quran, ceritanya nggak begitu. Riwayat-riwayat ahad yang belum tentu sahih itu bisa aja dijadikan alat untuk menggugat kemutawatiran al-Quran. Dan dia mengira bahwa dengan cara seperti itu dia sudah melakukan kajian ilmiah yang kritis. Bloonnya nggak ketulungan. Padahal, tanpa dia sadari, riwayat-riwayat yang sering jadi "mainan" orientalis itu udah banyak juga dibahas oleh para ulama. Pokoknya kalau baca buku aslinya ente pasti pada ketawa sendiri liat cara berpikir orang ini. Wah ini ada nih riwayat yang mengabarkan adanya penambahan alif. Kayanya bener deh quran ini kelebihan alif. Yaudah lah gue kurangin aja. Surat al-kafirun nih kelebihan alif kayanya. Soalnya nggak toleran. Kalau alifnya dibuang baru jadi ayat toleran. Begitu cara berpikir dia itu. 

Merubah kalam Allah itu adalah sesuatu yang ditakuti oleh Nabi sendiri. Tapi Mun'im nggak takut. Bagi dia itu biasa aja. Bagi para pengikutnya juga mungkin begitu. Apakah dia pernah merevisi ulang hasil revisiannya itu? Setahu saya nggak pernah. Terakhir saya lihat ceramahnya yang agak terbaru. Dia masih menyinggung revisian itu. Tapi nggak ada kata meralat. Tanpa dia sadari, dengan cara membuang satu huruf saja dari ayat itu, dia sudah terjatuh pada kontradiksi yang benar-benar parah. Kalau alif itu dibuang, otomatis surat itu tidak menjadi al-kafirun lagi, tapi jadi surat al-mu'minun. Ya iyalah. Kalau yang disembah oleh lawan bicara itu kita katakan sama dengan apa yang kita sembah, berarti dia jadi orang beriman kaya kita. Bukan orang kafir lagi.

Dan nggak perlu ada "lakum dinukum waliya din" lagi. Orang sesembahannya juga sama kok. Bayangkan betapa parahnya kerusakan yang ditimbulkan kalau kita mengikuti revisian orang itu. Kalau mengikuti logika Mun'im, kita itu baru bisa dibilang toleran, saudara-saudara sekalian, kalau kita berkata kepada orang-orang kafir (semoga Allah menjaga kita dari ucapan ini), "sungguh aku menyembah apa yang kalian sembah", "dan sungguh kalian pun menyembah apa yang aku sembah". Itu baru toleransi sejati versi Mun'im. Kalau dia menyembah sapi, ya kita harus nyembah sapi juga. Kalau orang kafir itu mempertuhan sendok, ya kita juga harus nyembah sendok. Mereka nyembah patung, kita juga harus begitu. Konsekuensi logisnya memang begitu. Pokoknya apapun yang menjadi sesembahan orang kafir, kalau kita mau menunjukkan toleransi sejati, maka kita harus menyembah apa yang mereka sembah itu.

Naudzubillah. Tsuma Naudzubillah. Tanpa dia sadari, dengan melakukan revisi itu, justru dia sedang mengajak orang beriman untuk jadi orang kafir seperti mereka. Umat Muslim di seantero jagat membaca surat itu dengan bacaan yang mutawatir, seperti yang termaktub dalam mushaf. Lalu datanglah seorang sarjana qur'an asal Amerika yang berani merubah kalam Allah itu. Setahu saya nggak ada pemikir Indonesia yang berani merubah redaksi qur'an itu. Paling jauh mereka cuma bikin tafsiran yang menyimpang. Kalau Mun'im nggak begitu. Kandungan quran pun berani dia revisi. Bagi saya, dengan adanya kelakuan biadab ini saja, Mun'im sudah tidak layak mendapatkan perlakuan terhormat. Apalagi dia mengaku sebagai Muslim. 

Belum lagi dengan klaim-klaim tidak wajarnya yang lain tentang al-Quran. Belum lagi dengan kekurangajarannya terhadap hadits-hadits Nabi Saw. Begitulah resiko terburuk kalau Anda belajar agama sama orientalis, dengan bekal ilmu-ilmu keislaman yang belum sepenuhnya matang. Apalagi dengan bangunan logika yang cacat. Itulah resiko kalau kita belajar agama melalui buku dan jurnal. Tanpa ada guru yang jelas. Persis kaya orang belum bisa nyetir, tapi udah mau bawa mobil ke jalan tol. Sama saja dengan mencelakakan diri sendiri. Dan, mirisnya lagi, bagi Mun'im kaya gini tuh biasa aja. Karena ini kajian ilmiah, katanya. Padahal Nabi sendiri tidak berani melakukan itu.

Perhatikan perintah Allah kepada Nabi Muhammad Saw dalam ayat ini: "Katakanlah (Muhammad), “Tidaklah pantas bagiku menggantinya atas kemauanku sendiri. Aku hanya mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku. Aku benar-benar takut akan azab hari yang besar (Kiamat) jika mendurhakai Tuhanku.” (Q. 10: 15). Dan Mun'im nggak takut melakukan itu. Lalu apa hukumnya orang yang merubah firman Allah secara sengaja, apalagi dia abadikan itu di dalam buku, dan dia sampaikan juga itu dalam ceramah-ceramahnya? Saya tidak tahu. Yang jelas itu perbuatan biadab dan berbahaya. Dan iman yang lurus pastinya akan bergetar melihat kekurangajaran itu.

(Oleh: Muhammad Nuruddin)

×
Berita Terbaru Update
close