Romantisme Penguasa dan Pengusaha, Elegi Kehancuran Bangsa -->

Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Romantisme Penguasa dan Pengusaha, Elegi Kehancuran Bangsa

Minggu, 12 Juni 2022 | Juni 12, 2022 WIB | 0 Views Last Updated 2022-06-12T08:39:21Z

OLEH: DIAN FITRIANI*
BERITA naik harga BBM, listrik, bahan pangan, hingga tarif masuk toilet tentu rakyat sudah bosan dan mati rasa dibuatnya. Bukan dalam artian abai, lebih secara implisit menggambarkan letih menanggapi, apalagi mencoba mengkomparasikan negara lainnya misal, dari segi kekayaan alam, ketertiban administrasi hingga keseriusan pemerintah dalam mengurusi rakyatnya.

Memang kita tak habis kata untuk menggambarkan, kalau dihitung secara parsial saja, luas Indonesia memiliki wilayah sebesar 1.904.569 km persegi, yang tak hanya besar, tapi juga kaya, sebutlah hutan Indonesia yang seluas 99 juta hektare, penghasil beras terbesar dengan rata-rata 50 juta ton per tahun, data terakhir menyebutkan cadangan gas alam Indonesia sekitar 2,8 triliun meter kubik yang membuat Indonesia menjadi negara pengekspor gas alam terbesar di dunia.


Ini hanya sebagian kecil kekayaan yang dimiliki, legenda tanah surga. Bukan saja jadi lirik lagu melainkan juga merupakan bagian dari fakta yang membuat rakyat termangu.

Ironisnya, fakta tersebut hanyalah menjadi dongeng belaka, dan sebaliknya justru kemiskinan merebak bak berjajar menawarkan iba, hari hari mereka tak diwarnai dengan kekayaan alam, bahkan kampung halamannya dirampas secara biadab, padahal sejak dulu nenek moyang nya tinggal di kaki gunung bebatuan, tapi entah kata mereka para pemilik modal tentang gunung punya siapa, yang jelas mereka punya tracktor, bulldozer bahkan pekerja kasar dari negeri tetangga.

Mirisnya mereka tak ragu giling rata rumah penduduk, mereka tak segan pecahkan gunung bebatuan, bagaimana dengan rumah di kaki gunung? Mereka tak mau ambil pusing, asal ada keuntungan yang mereka raih. Apakah ini betulan terjadi?

Ya, sebutlah di salah satu daerah yang padat truk melintas merusak aspal jalanan, tepatnya di perkampungan Parung Panjang Bogor Barat. Beberapa kali saya melintasi jalanan Parungpanjang menuju Jasinga, debu dan gusar derum truk truk besar mengiringi perjalanan, saya tak terbayang bila menjadi penduduk yang setiap harinya menghirup udara yang tercemar, dan memang hanya itu yang tersisa untuk penduduk sekitar tak ada semen gratis, apalagi rumah gratis hasil proyek, lantas apakah hasil kekayaan gunung tersebut penduduk sekitar turut menikmati? Jelas tidak, mereka hanya mengisap debu dan korban aspal rusak.

Kemana truk itu membawa harta galian hasil memecahkan gunung-gunung batu? Tentu bukan di halaman warga, yang jelas entah kemana mereka menyetorkan hasilnya, yang jelas setiap harinya truk-truk besar berseliweran sepanjang jalan kabupatun bogor termasuk jonggol, parung panjang, rumpin hingga gunung sindur.

Setidaknya 4 kecamatan terancam terserang penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) diakibatkan debu yang setiap hari dikonsumsi oleh warga, berdasarkan data terakhir. Jumlah penderita ISPA di daerah ini, dalam kurun waktu dua tahun terakhir (semester pertama 2017 hingga 2018, periode Januari hingga Juni) mencapai 12.067 orang.

Secara spesifik, berdasarkan data yang didapat pada semester pertama tahun 2018, warga Kecamatan Rumpin yang terjangkit ISPA sebanyak 2.900 orang atau 5,9 persen, tahun sebelumnya 3.767 orang atau 7,69 persen.

Untuk Kecamatan Gunung Sindur semester pertama 2018 sebanyak 2.131 orang atau sekitar 2,36 persen penderita ISPA, tahun sebelumnya 1.843 orang atau 2,04 persen.

Di Kecamatan Parungpanjang semester pertama 2018, warga menderita ISPA sebanyak 79 orang atau 0,08 persen, tahun sebelumnya sebenyak 1.347 orang atau 1,38 persen.

Bila melihat besaran angka, maka setidaknya ada ribuan warga terancam menderita ISPA setiap tahunnya, mereka terpaksa menghirup debu setiap harinya, tak hanya paru-paru mereka, pelataran rumah pun tak absen dihinggapi debu kotor. Miris, di tengah kekayaan alam yang melimpah, rakyat nya justru menderita pula nestapa.

Negeri ini kaya, bahkan tanah surga katanya, sayangnya kekayaan ini tak berdampak pada resonansi peradaban, hanya bersahut-sahutan dengan para pengusaha dan penjabat, berebut pisau untuk memotong-motong kue, berbagi jatah tanah yang entah milik siapa seharusnya. Lucunya ketika kontestasi politik tiba, pejabat berebut jadi pahlawan, lantas bertransformasi menjadi sosok sarat empati, berbicara tentang masa depan indah yang abadi sepanjang dirinya terpilih nanti.

Lima tahun sekali, atau bahkan kurang dari itu, kita punya siklus reinkarnasi para penjabat yang mengisi kekosongan kursi ataupun posisi, yang sibuk berkampanye siang dan malam, berambisi jadi sang penguasa. Entah penguasa lahan pertanian Cianjur, penguasa gunung bebatuan parung panjang, penguasa 99 juta hektare hutan Indonesia, bahkan mungkin penguasa darah dan jiwa rakyatnya, yang sewaktu-waktu bisa menjadi mangsa akibat keserakahan hasrat berkuasa.

Setidaknya, hari ini, kita tak lagi harus mengangkat senjata melawan penjajah, tak repot-repot merumuskan proklamasi, atau reinkarnasi jadi pejuang reformasi. Bila yang dibutuhkan merdeka lewat elegi panjang, maka tentu negeri ini telah lebih dari setengah abad lamanya.

Bila yang dibutuhkan adalah reformasi, maka setidaknya kita sudah 7 kali mengganti pemimpin negeri, hanya saja kita tak hanya butuh birokrasi, reformasi apalagi narasi, kita hanya butuh restorasi, rekonstruksi, bahkan revolusi sistem operasi, ini bukan soal koalisi apalagi oposisi tapi ini tentang negeri. Negeri yang berada diambang kehancuran akibat serangan keserakahan. 

(Penulis adalah Mahasiswi Kesejahteraan Sosial FISIP UMJ)
×
Berita Terbaru Update
close