Rizal Ramli Bela Edy Mulyadi: Pengadilan Tidak Fair dan Error! -->

Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Rizal Ramli Bela Edy Mulyadi: Pengadilan Tidak Fair dan Error!

Rabu, 27 Juli 2022 | Juli 27, 2022 WIB | 0 Views Last Updated 2022-07-27T12:26:32Z
WANHEARTNEWS.COM -  JAKARTA - Kasus ujaran kebencian 'Jin Buang Anak' dengan terdakwa Edy Mulyadi yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat hari Selasa kemarin turut dihadiri tokoh nasional Dr. Rizal Ramli.

Menko Ekuin era Presiden Gus Dur ini turut menyaksikan sidang dengan agenda mendengarkan saksi ahli bahasa Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Jalan Raya Bungur, Gunung Sahari, Jakarta Pusat, Selasa (26/7/2022).

Dari pengamatannya, RR, sapaan Rizal Ramli menyimpulkan bahwa pengadilan yang menggelar perkara Edy Mulyadi yang juga seorang wartawan ini tidak benar. Pasalnya, profesi wartawan dilindungi undang-undang dan seharusnya diadili di Dewan Pers, bukan di pengadilan negara.

"Esensinya pengadilan yang tidak benar, tidak fair dan error. Kenapa? Dunia wartawan itu diatur dalam undang-undang lex specialis, undang-undang pokok pers," kata Rizal Ramli di Pengadilan Jakarta Pusat.

Menurutnya, pengadilan negeri tidak memiliki hak untuk mengadili wartawan, lantaran profesi wartawan telah dilindungi undang-undang pokok pers yang khusus jika seorang wartawan melakukan kesalahan dalam pekerjaannya.

“Jadi ini pengadilan ini pengadilan error. Karena tidak berhak mengadili wartawan. Misalnya, saudara ini wartawan salah nulis, salah kutip salah interpretasi. Pengadilan itu tidak berhak mengadili saudara (wartawan),” katanya.

Pers, kata RR, merupaka pilar demokrasi keempat di Indonesia. Maka seharusnya pengadilan memahami bahwa mengadili pers di pengadilan tidak sesuai dengan norma hukum yang berlaku.

"Demokrasi ada eksekutif, yudikatif, legislatif, dan pilar keempat dari demokrasi adalah pers, wartawan. Jadi enggak bisa pilar yang lain mau adili wartawan. Itu ada UU pokok pers, yang melindungi hak wartawan kalau sampai salah kutip, atau salah apa,” katanya.

"Dengan pengadilan model begini, ini mau menunjukkan bahwa Indonesia sudah semakin tidak demokratis, sudah semakin otoriter,” pungkasnya.

Seperti diketahui, kasus 'Jin Buang Anak' ini berawal dari kritik yang dilontarkan wartawan FNN Edy Mulyadi terkait pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) dari Jakarta ke Kalimantan.

Melalui sebuah video yang ditayangkan di YouTube, Edy menyebut wilayah calon ibu kota baru dengan istilah "tempat jin buang anak".

Dalam video tersebut, Edy menyampaikan kritik bahwa lahan IKN tidak strategis dan tidak cocok untuk investasi.

"Bisa memahami enggak, ini ada tempat (Ibu Kota Jakarta) elite, punya sendiri, yang harganya mahal punya gedung sendirian, lalu dijual pindah ke tempat jin buang anak," kata Edy dalam video di kanal YouTube.

Akibat kalimat "tempat jin buang anak" ini Edy Mulyadi ditetapkan sebagai tersangka kasus ujaran kebencian berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), serta penyebaran berita bohong atau hoaks.

Padahal istilah "tempat jin buang anak" merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu tempat yang berada di kejauhan, pelosok, terpencil.

“Nah di Jakarta, tempat jin buang anak itu untuk menggambarkan tempat yang jauh,” kata Edy melalui kanal YouTube Bang Edy Channel, Senin (24/1/2022).

Menurut dia, istilah "tempat jin buang anak" juga pernah menjadi julukan kawasan Monas dan BSD, Tangerang Selatan, pada zaman dahulu.

Edy menekankan, itu hanya istilah yang dipakai untuk menyebut suatu tempat yang jauh dan terpencil.

“Jangankan Kalimantan, istilah, mohon maaf ya, Monas itu dulu tempat jin buang anak. BSD tuh tahun '80-an masih tempat jin buang anak. Istilah biasa,” ucap dia.

Edy menilai, ada pihak yang berupaya memainkan isu tersebut hingga menjadi ramai.

Namun demikian, ia tetap meminta maaf atas pernyataannya. Edy mengaku bahwa dirinya tidak berniat merendahkan dan menghina pihak tertentu melalui pernyataannya.

“Itu mau dianggap salah, tidak salah, saya tetap minta maaf,” kata Edy.
Buntut dari ucapan Edy, setidaknya ada 4 laporan masyarakat ke polisi di tingkat Mabes dan Polda.

Dua laporan diterima di Bareskrim Polri, serta masing-masing satu laporan di Polda Sulawesi Utara dan Polda Kalimantan Timur.

Kemudian, Polri juga mendapat 16 pengaduan masyarakat dan 18 pernyataan sikap terkait ucapan Edy.

Terancam 10 tahun penjara

Pihak kepolisian langsung menahan Edy setelah menetapkannya sebagai tersangka. Polisi mengaku punya sederet alasan untuk menahan Edy, meliputi alasan subjektif dan objektif.

Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan menuturkan, alasan subjektif Edy langsung ditahan lantaran dikhawatirkan dia melarikan diri, menghilangkan barang bukti, dan mengulangi perbuatan.

"Alasan objektif ancaman dikenakan di atas 5 tahun," kata Ramadhan kepada awak media di Jakarta, Senin (31/1/2022).

Akibat perbuatannya, Edy disangka telah melanggar pasal 45 A Ayat 2, jo Pasal 28 Ayat 2 UU ITE. Lalu, Pasal 14 ayat 1 dan ayat 2 Jo pasal 15 UU No 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana Jo Pasal 156 KUHP.

"Ancaman masing-masing pasal ada, tapi ancaman 10 tahun," kata Ramadhan.

Minta perlindungan hukum

Merespons hal ini, Kuasa Hukum Edy, Damai Hari Lubis, mengaku akan mengirimkan surat ke Dewan Pers untuk meminta perlindungan hukum.

Damai Hari Lubis menyatakan, setiap tayangan video Edy yang diunggah melalui Youtube adalah produk pers atau jurnalistik. Sebab, menurut dia, kanal Youtube Edy sudah terdaftar di Dewan Pers.

"Nah Pak Edy itu Youtube-nya produk pers, tidak bisa tidak. Itu sudah terdaftar di Dewan Pers," kata Damai.

Damai juga menyayangkan penetapan status Edy sebagai tersangka. 

Damai menilai, pernyataannya Edy mengenai 'tempat jin buang anak' masih bisa diperdebatkan. Menurut dia, objek perkara ucapan Edy berada di ruang seni, bahasa ungkapan, atau satire pada sebuah daerah sesuai adat dan budaya atau kebiasaan Betawi.

Ia berpendapat, tidak ada ungkapan kalimat kotor atau kasar yang terlontar dari kliennya terkait kritikan tersebut.

(Sumber: RMOL, Kompas)
×
Berita Terbaru Update
close