Bolehkah Jokowi Menjadi Wakil Presiden? -->

Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Bolehkah Jokowi Menjadi Wakil Presiden?

Minggu, 18 September 2022 | September 18, 2022 WIB | 0 Views Last Updated 2022-09-18T00:30:38Z
 

OLEH: FURQAN JURDI*

SETELAH wacana perpanjangan masa jabatan agak mulai sunyi, wacana tiga periode menggema. Wacana yang muncul dari pendukung Joko Widodo itu telah memantik perdebatan politik ketatanegaraan yang rumit.

Napas gerak wacana tiga periode agak panjang, karena Presiden Jokowi juga tidak memiliki prinsip yang bisa dipegang untuk meyakinkan publik bahwa dirinya tidak ingin tiga periode.




Alih-alih menghentikan wacana yang dilontakan oleh relawan Pro-Jokowi (Projo) mengenai tiga periode, Jokowi justru mengatakan itu bagian dari demokrasi. Menyatakan wacana tiga periode bagian dari demokrasi bukan hanya melukai demokrasi itu sendiri, tapi juga menginjak-injak konstitusi yang mengatur batasan masa jabatan presiden itu.

Jokowi perlu belajar dari para tiran selama ini, mereka lahir dari pemerintahan yang tidak pernah menyangkal demokrasi, tapi dia menginginkan demokrasi itu untuk dirinya sendiri, tidak untuk orang lain.

Wajah tirani lahir dari kemauan untuk merubah aturan main konstitusi. Konstitusi sudah membatasi, tapi para tiran akan men congkel ketentuan konstitusi itu dan berubah berdasarkan keinginan mereka. Maka lahirlah tirani.

Perasaan prestasi dan kehebatan yang digaungkan oleh pendukung dan relawan Jokowi berbanding terbalik dengan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat. Negara terus menghadapi badai krisis ekonomi.

Tetapi perasaan superior telah menutup mata dan etika serta moral penguasa. Karena itu mereka menganggap bahwa hanya merekalah yang mampu memimpin negara ini.

Terciptanya berhala kekuasaan seperti ini, selain berbahaya bagi demokrasi, juga berbahaya bagi perkembangan dan kemajuan bangsa kedepan. Akan lahir tiran-tiran yang dianggap baik oleh pendukungnya.

Perasaan paling mampu memimpin sudah menjelma menjadi keangkuhan kekuasaan. Inilah yang kita buktikan sekarang. Sebaliknya demokrasi tidak menghendaki kekuasaan yang membentuk dirinya sebagai berhala, karena bagi demokrasi, setiap pemimpin eksekutif harus ditempatkan sebagai bajingan, sehingga perlu dibatasi dan diawasi. Muncullah istilah chek and balances.

Itu juga menjadi kelemahan demokrasi liberal barat. Semua bersandar pada materi, dan pemimpin terpilih diwajibkan oleh sistem liberal menggunakan uang untuk membeli suara dalam demokrasi.

Para calon presiden dan wakil presiden anggota dewan dan pejabat-pejabat lainnya selalu berorientasi uang untuk menentukan apakah dia dipilih. Pintu inilah yang menjadikan oligarki berada diatas puncak untuk mengendalikan kekuasaan. Sebab hanya oligarkilah yang memiliki uang untuk menjadi bohir politik.

Dalam kecamatan inilah kita melihat bagaimana Jokowi "dipaksa" untuk tetap mempertahankan kedudukannya sebagai presiden. Yaitu, untuk menjaga kepentingan oligarki yang bercokol dalam puncak tertinggi mengendalikan kekuasaan.

Tapi semua orang menolak, bahwa jabatan presiden sudah dibatasi berdasarkan ketentuan pasal 7 UUD 1945.

"Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan."

Dalam putusan Mahkamah Konstitusi juga memperkuat bahwa Presiden dan atau wakil presiden yang sudah menjabat dua kali tidak boleh mencalonkan diri baik itu secara berjeda maupun berturut-turut.

Jadi tidak ada celah konstitusional apapun untuk membuka peluang tiga periode maupun memperpanjang masa jabatan presiden menurut ketentuan konstitusional.

Karena tidak bisa menjawab kebutuhan itu, maka muncullah wacana, bahwa Jokowi masih bisa menjadi calon Wakil Presiden. Wacana yang dilontakan oleh politisi PDIP Bambang Pacul itu direspon oleh Jurubicara Mahkamah Konstitusi.

Fajar Laksono menyebut, presiden yang telah dua periode secara normatif bisa maju lagi sebagai calon wakil presiden utuk periode berikutnya. Pernyataan Fajar ini menuai kritikan dari semua pihak.

Prof. Din Syamsuddin bahkan meminta MK untuk mencopot Jubirnya. Kemudian reaksi atas pernyataan itu muncul dari Mantan ketua Mahkamah Konstitusi Prof. Jimly Asshiddiqie.

Menurut Prof Jimly Joko Widodo tak memenuhi syarat untuk menjadi calon wakil presiden (cawapres) di Pilpres 2024 mendatang. Alasanya, Jokowi yang sudah menjabat presiden dua periode tidak bisa maju lagi sebagai calon wakil presiden untuk periode berikutnya.

Dari segi hukum dan etika kenegaraan, menurut Prof. Jimly, Jokowi sudah tidak bisa menjadi Wapres. Berdasarkan ketentuan Pasal 7 UUD 1945 Presiden memegang masa jabatan lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk masa jabatan yang sama untuk satu kali masa jabatan.

Pasal 7 ini tidak boleh hanya dibaca secara harfiah melainkan harus dibaca secara sistematis dan kontekstual. "Hanya untuk satu kali masa jabatan".

Begitu juga muncul tanggapan dari Prof. Denny Indrayana yang mengatakan, kalau Jokowi tidak boleh menjabat Wakil Presiden tahun 2024-2029. Sebab ketentuan pasal 7 berlaku untuk 2X5 tahun.

Apabila Jokowi memaksakan untuk calon presiden, maka berlaku ketentuan pasal 8. Apabila presiden mangkat, berhenti atau diberhentikan otomatis digantikan oleh Wakil Presiden.

Sementara secara hukum presiden hanya dua kali masa jabatan, ketika maju lagi menjadi Wapres, kemudian presiden mangkat atau berhenti dan diberhentikan dalam masa jabatannya, maka akan terjadi kekosongan jabatan presiden, sebab Wakil Presiden sudah menjabat presiden dua periode.

Karena itu secara konstitusional presiden yang menjabat dua periode berakhir dan tidak bisa lagi menjadi wakil presiden. Mengutip Prof Jimly, baik secara hukum maupun secara etika tidak dibenarkan.

Karena itu tidak ada jalan bagi Jokowi untuk tetap memegang jabatan presiden maupun Wakil Presiden. Baik itu untuk tiga periode, memperpanjang masa jabatan maupun menjadi Wakil Presiden.

Tapi kalau melakukan pemaksaan kehendak, maka dapat dikatakan sebagai makar terhadap konstitusi dan menghina akal sehat demokrasi. Orang seperti itu baik secara etika maupun secara hukum patut mendapatkan pengadilan untuk diadili dan tidak patut menjadi panutan dalam bernegara. Sekian. 

(Ketua Umum Pemuda Madani)
×
Berita Terbaru Update
close