Pemuda, Bangkit Melawan atau Mati Kelaparan -->

Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Pemuda, Bangkit Melawan atau Mati Kelaparan

Sabtu, 29 Oktober 2022 | Oktober 29, 2022 WIB | 0 Views Last Updated 2022-10-29T12:28:22Z

OLEH: DR. SYAHGANDA NAINGGOLAN

BERBAGAI berita hari ini tentang Sumpah Pemuda mengharapkan kejuangan pemuda untuk membangun persatuan nasional, sebagaimana yang diharapkan bangsa ini jika merujuk pada sejarahnya, Sumpah Pemuda 1928.

Persoalannya adalah apakah pemuda kita ini, saat ini, mempunyai kemampuan untuk berbicara nasionalisme? Atau sebaliknya, pemuda saat ini menjadi beban negara yang harus diselamatkan?


Dalam tulisan saya terdahulu, "Gelombang PHK dan Perfect Storm", "Buruknya Nasib Buruh Indonesia", 12/10/22, yang dapat diakses beberapa media online, telah dibahas lebih dari satu juta pengangguran baru selama 9 bulan tahun ini.

Hal itu dapat dilihat dari 2,2 juta pencairan JHT. Banyak di antara mereka kaum muda, karena tabungan JHT-nya masih beberapa tahun. Pertanyaannya seberapa besar pengangguran kaum muda?

Dalam data bank dunia, https://data.worldbank.org/indicator/SL.UEM.1524.ZS?locations=ID, pengangguran kaum muda usia 15-24 tahun berada pada angka 16% tahun 2021. Jauh di atas kelompok usia lainnya atau angka total 5,8 % (Februari 2022). Angka usia 15-24 ini berada pada 15,9% pada saat Jokowi mulai berkuasa.

Pada saat SBY berkuasa, pengangguran kaum muda usia itu berkisar 26%, turun hampir 10% ketika SBY turun. Artinya, selama Jokowi berkuasa pengangguran kaum muda usia ini tetap begitu saja, secara rerata.

Jumlah usia 15-24 berjumlah 21,3 juta jiwa dan usia 15-44 tahun berjumlah 88,61 juta jiwa. Jika kita asumsikan usia muda itu di bawah 45 tahun, maka jumlah usia sangat muda memasuki dunia kerja hampir mencapai 25%.

Pengalaman buruk mereka sebagai pencari kerja di awal kehidupannya, seperti susah mendapatkan pekerjaan dan gaji yang tidak bisa mencukupi, membuat kemungkinan adanya krisis kehidupan pada hidup mereka kelak.

Secara kualitatif sulitnya sarjana mendapatkan pekerjaan dan sulitnya mempunyai penghasilan yang cukup dalam bekerja diuraikan dalam artikel CNN Indonesia, 28/10, dalam "Sarjana Susah Cari Kerja, Siapa Yang Salah?" dan "Barisan Para Perantau Muda Ke Jakarta: Sulit Menabung, Dibunuh Sepi".

Memang pemerintah mengklaim telah terjadi penyerapan tenaga kerja sebanyak 4,45 juta selama kuartal I/2022 namun angkatan kerja baru yang masuk mencari kerja mencapai 4,2 juta, pada saat yang sama. (merdeka.com, 9/5/22).

Dari penyerapan naker itu mayoritas pada pertanian, yang hampir 1,9 juta pekerja, lalu sektor pengolahan dan perdagangan, masing-masing 840 ribu dan 640 ribu. Namun, gelombang PHK yang terjadi saat ini telah menunjukkan secara total terlihat tidak terjadi pertumbuhan lapangan kerja di Indonesia.

Bagimana dengan pemuda yang bekerja? Pada tulisan terdahulu saya, yang saya singgung di atas, saya sudah membahas temuan "Mekari White Paper", April 2022 yang dilansir Kompas 10/10, di mana terjadi kemerosotan daya beli karyawan sebesar 74%, 61% tidak mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari dan 15% saja yang masih punya tabungan jika di PHK, serta uraian survei Litbang Kemenhub (kompas, 9/10) tentang penghasilan ojek online, berkisar Rp 50.000-Rp 100.000 perhari yang habis dalam sehari. Mereka adalah kaum muda, yang sebesar 40,6% berusia 20-30 tahun.

Data kuantitatif ini jika kita sambungkan dengan laporan CNN Indonesia di atas, yang menggambarkan sosok-sosok pekerja muda di Jakarta, yang bertahan hidup tanpa tabungan, namun harus bertahan di Jakarta, karena tidak punya alternatif kerja dengan penghasilan lebih baik, apalagi balik ke desa, tentu lebih semakin nyata, bahwa kaum muda sudah terjebak dalam kehidupan pas-pasan.

Kesulitan menciptakan lapangan kerja, sebenarnya juga dapat terlihat dari laporan CNN Indonesia, 27/10/22, dalam judul "Turun Naik Nasib BLK dan Asa Pemuda Mengejar Mimpi". Berita ini menggambarkan upaya pemerintah menciptakan pelatihan berorientasi kerja.

Di mana disebutkan bahwa dari anggaran yang disalurkan pemerintah pada Balai Latihan Kerja (BLK) di Bandung, Sidoarjo dan Solo masing-masing Rp 100 milyar hanya mampu menciptakan naker terserap sebanyak 674 orang, 1.257 orang dan 1.432 orang.

Sejumlah 3000 an orang pekerja dengan anggaran lebih 300 miliar pelatihan menunjukkan susahnya menciptakan "link and match" antara pencari kerja (skill and competence) dan penyedia kerja.

Gambaran tentang buruknya nasib kaum muda sudah kita gambarkan. Kita masih melihat ini dalam standar resmi pengangguran. Jika kita bicara riil, maka cakupan defenisi pengangguran dapat diperluas lagi.

Jika di Amerika, BPS mereka menentukan angka pengangguran standar dengan ukuran U3, namun ukuran riil dengan U6, angkanya berbeda jauh. Dalam kamus Britannica, "How is the U.S. Unemploynent Rate Calculated", yang memuat pengertian U3 dan U6 tersebut, disebutkan bahwa angka standar pengangguran Amerika 2022 adalah 4,4%, namun secara riil sesungguhnya 8,7%.

Secara umum kita sudah memperlihatkan bahwa kaum muda dan pemuda mengalami persoalan besar bagi dirinya sendiri. Mereka menjadi bagian dari sistem perekonomian kita yang menempatkan mereka sebagai alat produksi semata, yang digunakan untuk memenuhi rumus-rumus pembangunan ekonomi ala neoliberal. Mengapa demikian?

Sistem ekonomi kapitalis yang berkembang di Indonesia memang dijalankan dengan prinsip sebagai berikut: Pertama, ekonomi harus bertumbuh tanpa memikirkan pertumbuhan untuk siapa. Yang pasti pertumbuhan ekonomi selama ini lebih menguntungkan kaum kapitalis oligark yang segelintir jumlahnya.

Kedua, jika inflasi tidak terkendali, maka pemerintah dan Bank Sentral harus merem inflasi dengan menaikkan suku bunga. Dengan suku bunga tinggi uang beredar berkurang. Namun, resikonya adalah PHK. Mengatur inflasi pada tingkat 2-3 % adalah rumusan yang tidak perduli nasib pekerja.

Ketiga, flexicurity. Ini sebuah prinsip di mana hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja diusahakan pada titik kepentingan terbatas sekali. Kapan merekrut pekerja dan mem PHK dipersilakan pada pengusaha. Ini disebut flexiblity labour market.

Aspek security, yakni kesejahteraan pekerja atau pekerja yang di PHK, diserahkan pada negara. Pengusaha tidak mau terlibat. Pekerja Indonesia sudah masuk pada fase ini, sehingga pekerja tidak punya lagi kepastian hidup dan karier.

Bangkit Melawan atau Mati Kelaparan

Krisis ekonomi yang akan melanda Indonesia, sudah pasti akan (dijadikan alasan) memperburuk nasib kaum muda pekerja. PHK, pembayaran upah jam-jaman, penurunan upah riil, dan lain sebagainya akan terus terjadi dan bertambah buruk. Banyak orang memprediksi akan terjadi tahun depan.

Persoalannya adalah bagaimana pemuda ini akan mampu menjadi Avant Garde bagi penjaga nasionalisme jika mereka sendiri dihantui kecemasan yang berjangka panjang.

Ini adalah pertanyaan besar bagi kaum muda ketimbang orang-orang meminta kaum muda menjaga persatuan nasional. Sebab, pula perpecahan nasional selama ini bukanlah tanggung jawab pemuda, melainkan pertarungan politik kaum tua.

Tanggung jawab pemuda saat ini adalah merebut Indonesia untuk mereka miliki demi masa depan mereka. Merebut artinya tidak membiarkan Indonesia berjalan tanpa memastikan kepentingan kesejahteraan kaum muda meningkat dan berkelanjutan.

Sedangkan memiliki artinya memastikan mereka bukan sekadar buruh murah yang tergantung pada kepentingan segelintir kapitalis pemilik kekuasaan.

Di sinilah letak kepentingan kita membicarakan kaum muda dan pemuda kita. Bukan menyerahkan urusan politik perpecahan, isu persatuan dan tetek bengek lainnya. Pemuda harus kita sadarkan untuk bangkit melawan kaum kapitalis atau mati kelaparan. 

(Penulis adalah Ketua Lembaga Kajian Publik Sabang Merauke Circle (SMC))
×
Berita Terbaru Update
close