Aktivis Ingatkan: Feodalisme Jokowi sudah Kebangetan? NKRI kayak Negara Kerajaan -->

Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Aktivis Ingatkan: Feodalisme Jokowi sudah Kebangetan? NKRI kayak Negara Kerajaan

Minggu, 11 Desember 2022 | Desember 11, 2022 WIB | 0 Views Last Updated 2022-12-11T10:32:44Z

 

WANHEARTNEWS.COM -

WANHEARTNEWS.COM - Berbagai kalangan masyarakat menggugat dan bertanya: Apakah Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah menjadi Negara Kerajaan Indonesia. Karena Presiden Jokowi dalam melaksanakan acara pernikahan putranya yang terakhir, Kaesang,  dengan adat acara pernikahan Raja Jawa. Bukan sekedar Pernikahan Adat Jawa.  Ciri-cirinya: 1, Dilaksanakan di Istana Mangkunegoro salah satu istana Raja Jawa. 2. Acara kirab memperkenalkan pengantin hanya di lakukan di negara kerajaan , seperti di Inggris. Bahkan Hamengkubuwono X dan Mangkunegoro X pun tidak melakukan Kirab.

Aneh sekali. Padahal  Perjuangan Kemerdekaan itu selain melawan Kolonialisme  juga bertujuan menghapus Feodalisme.  ''Peristiwa perkawinan Kaesang mengesankan feodalisme akut dari Jokowi, berbagai kalangan menyebutnya feodalisme yang kebangetan, tapi mungkin Pak Jokowi tak menyadari?'' ungkap para analis dan aktivis. 

''Sorotan publik pada Jokowi makin tajam, presiden harus mawas diri, sebab tahun 2015 istana perintahkan tak boleh pejabat bikin pesta mewah atau hajatan mewah,'' kata aktivis mahasiswa 1998 Haris Rusly Moti dan  analis Muhamad Nabil MA, peneliti CSRC UIN Syarif Hidayatullah  dari kalangan nahdliyin.

Indonesia sejatinya adalah negara Republik. Tapi, pada kenyataannya sistem yang berjalan di pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) serasa menganut sistem monarki alias kerajaan. Seperti disampaikan tokoh nasional, Dr Rizal Ramli (RR) , sistem monarki dianut pemerintahan berbentuk kerajaan, di mana kekuasaan tertinggi dipegang penuh oleh Raja.

Nah, menurut tokoh yang karib disapa RR ini, dalam  praktiknya, sistem pemerintahan Republik Indonesia di bawah pemerintahan Jokowi semakin banyak persamaan dengan monarki.

"Misal, dalam sistem monarki, pemimpin berkuasa nyaris penuh karena tidak ada batasan hukum yang membatasinya. Pemimpin juga memiliki kekuasaan yang tidak terbatas karena lembaga legislatif dan judikatif semakin manut kepada eksekutif. Seluruh perkataan serta perintahnya harus selalu dituruti oleh semua rakyat, dan rakyat pun tak boleh melontarkan kritik," kata RR dalam acara peringatan hari HAM di Kampus Trilogi, Kalibata, Jakarta Selatan, Sabtu (10/12).

WANHEARTNEWS.COM -


WANHEARTNEWS.COM -


WANHEARTNEWS.COM -
"Nah, itulah beberapa persamaan yang terjadi di Indonesia sekarang ini,"  tegasnya.Terlebih lagi, sambung RR, Pasal 218 dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru disahkan DPR beberapa hari lalu menyiratkan bahwa masyarakat yang menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden dan wakil presiden bisa dipidana hingga 3 tahun.

"Bisa saja nanti mengkritik lalu ditafsirkan menyerang kehormatan presiden. Karena definisi menyerang kehormatan dan martabat presiden masih sangat karet,” tukas mantan anggota Tim Panel PBB bersama tiga peraih Nobel ini.

Padahal di dalam negara Republik, menganut sistem demokrasi. Dengan demikian, kritik menjadi hal penting sebagai bagian dari kebebasan berekspresi yang bersifat konstruktif

"Presiden dan pejabat negara itu kan diangkat oleh rakyat dan  untuk melayani rakyat. Jadi kalau menerima kritik, perbedaan pendapat, adalah sebuah konsekuensi dari jabatan," tuturnya.

Lebih lanjut, RR menjelaskan persamaan pemerintahan Republik Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi dengan sistem monarki, yaitu masa kekuasaan yang seolah tak cukup hanya  dua periode.

"Memang, Jokowi tak mengucapkan langsung ingin berkuasa lebih dari dua periode. Namun, pernyataan Ketua MPR dan Ketua DPD yang menginginkan Jokowi berkuasa lebih dari dua periode patut dicurigai bagian dari manuver politik Jokowi itu sendiri, karena tak ada tanggapan dari Jokowi," terangnya.  

Sejatinya, kata RR, Ketua DPD LaNyalla Mattalitti dan Ketua MPR Bambang Soesatyo sebagai pimpinan legislatif dapat memahami konstitusi UUD 1945, Pasal 22E Ayat (1) bahwa Pemilu harus dilaksanakan setiap lima tahun sekali.

"Saya kira semua anggota dan pimpinan legislatif tahu dan paham konstitusi. Kalau mereka sampai mengkampanyekan perpanjangan masa jabatan presiden berarti patut dicurigai adanya upaya untuk melakukan kudeta konstitusi,” jelas RR.

Tak hanya itu, RR juga menyoroti persamaan lain dari monarki, di mana anak dan menantu Jokowi yang kini menjadi penguasa, Gibran Rakabuming Raka sebagai Walikota Surakarta dan Muhammad Bobby Afif Nasution sebagai Walikota Medan.

"Jokowi seolah ingin mengubah Republik Indonesia menjadi kerajaan. Awalnya, anak dan menuntunya jadi walikota. Bisa jadi nanti diarahkan jadi Gubernur,” sebut RR.  

"Selain Jokowi, kita juga bisa lihat di legislatif, dari 575 anggota DPR, 200 lebih masuk melalui nepotisme," tandasnya. I rm

×
Berita Terbaru Update
close