Jejak Anggota Satgassus Merah Putih Polri dalam Dugaan Kriminalisasi Aktivis -->

Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Jejak Anggota Satgassus Merah Putih Polri dalam Dugaan Kriminalisasi Aktivis

Selasa, 27 September 2022 | September 27, 2022 WIB | 0 Views Last Updated 2022-09-27T06:28:00Z


Ditulis oleh
Project Multatuli

Kolaborasi Project Multatuli, Jawa Pos, Tirto.id, dan Deduktif menemukan sejumlah nama anggota Satgassus Polri terlibat dalam kasus dugaan kriminalisasi terhadap aktivis hak asasi manusia (HAM) dan tokoh vokal di Indonesia dalam rentang 2019-2021.

Dandhy Dwi Laksono tidak pernah lupa peristiwa penangkapannya pada 26 September 2019. Kamis malam itu ia baru saja tiba di rumahnya sepulang dari kantor Watchdoc ketika empat polisi menggedor-gedor pagar rumahnya.

Dengan kondisi masih lelah setelah seharian bekerja, ia meladeni polisi-polisi itu. Begitu ia membukakan pagar, tanpa basa-basi, polisi-polisi itu menyerahkan surat penangkapan.

Dandhy menerima surat penangkapan itu dengan perasaan kalut. Dalam surat tersebut ada delapan nama polisi yang ditugaskan untuk menangkapnya. Mereka adalah AKBP Roberto G.M Pasaribu, Kompol Adri D. Furyanto, Ipda Fathurroji, Ipda Huntal D.M.T Sibarani, Aipda Keliek Arie, Bripka Chairul Anwar, Brigadir Slamet Maridi, dan Briptu Rizka Al Fatoni.

Selesai membaca surat itu, Dandhy pun bertanya, ”Apa perkaranya?”

Polisi hanya bilang terkait postingan di Twitter tentang Papua. Polisi meminta Dandhy ikut ke kantor polisi malam itu juga. Semula Dandhy menolak, tapi karena polisi memaksa, Dandhy mengikuti kemauan mereka.

Tiba di gedung Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, Dandhy langsung menjalani pemeriksaan. Petugas mencecarnya soal unggahan tertanggal 23 September 2019 pada akun Twitter Dandhy. Ketika itu, ia mengunggah utas peristiwa di Papua mengenai dugaan aksi represif aparat terhadap mahasiswa dan pelajar di Jayapura dan Wamena.

Dari lima cuitan yang menjadi utas Dandhy, polisi fokus pada poin yang diunggah pukul 13.26 WIB. Ada dua foto di sana. Foto pertama adalah peristiwa di Jayapura. Cuitan Dandhy berbunyi: “Mahasiswa Papua yang eksodus dari kampus-kampus di Indonesia, buka posko di Uncen. Aparat angkut mereka dari kampus ke Expo Waena. Rusuh. Ada yang tewas.”

Foto kedua adalah peristiwa di Wamena. Bunyi cuitan Dandhy: “Siswa SMA protes sikap rasis guru. Dihadapi aparat. Kota rusuh. Banyak yang luka tembak.” 

Sepanjang pemeriksaan, petugas bergantian meminta keterangan darinya. Namun, ia tidak ingat siapa saja nama-nama petugas tersebut.

Dalam pemeriksaaan itu, Dandhy menegaskan tidak ada yang salah dengan unggahannya. Sebaliknya, penyidik menganggap Dandhy mengunggah hal yang belum bisa dipastikan kebenarannya. Bahkan, mengandung ujaran kebencian dan isu SARA.

Maka, Dandhy dianggap melanggar pasal 28 ayat (2) juncto pasal 45 A ayat (2) UU Nomor 8/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan atau pasal 14 dan pasal 15 UU Nomor 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.

”Saya jelaskan bahwa itu thread. Tapi mereka nggak mau tahu,” ungkap Dandhy.

Dandhy akhirnya dilepaskan sekitar pukul 04.00 dengan menyandang status tersangka. ”Sampai sekarang, status saya masih tersangka,” katanya.

Ferdy Sambo, Satgassus Merah Putih, dan Kasus Dandhy 

Setelah tiga tahun berlalu, kasus penangkapan Dandhy itu masih belum ada ujungnya. Ia tidak pernah sekalipun menerima surat pemberitahuan perkembangan hasil penyidikan (SP2HP) dari kepolisian.

Alih-alih memberikan kepastian hukum terhadap status Dandhy, sekarang polisi tengah sibuk atas kasus Irjen Ferdy Sambo. Kasus kematian Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat yang melibatkan Ferdy Sambo membuka beberapa hal yang selama ini tidak diketahui publik. Salah satunya adalah keberadaan Satuan Tugas Khusus (Satgassus) Merah Putih.

Keberadaan Satgassus Merah Putih jadi sorotan setelah diketahui Ferdy Sambo menjabat sebagai kepalanya. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo membubarkan Satgassus pada 11 Agustus 2022 karena muncul kritik terhadap Sambo yang masih mendapat posisi di Satgassus.

Tim Kolaborasi Project Multatuli, Jawa Pos, Tirto, dan Deduktif mendapatkan tiga dokumen Surat Perintah Kapolri terkait Satgassus. Tiga dokumen itu berkode Sprin/681/III/HUK.6.6./2019, Sprin/1246/V/HUK.6.6./2020, dan Sprin/1583/VII/HUK.6.6./2022.

Dalam dokumen itu terdapat ratusan nama polisi beserta pangkat dan jabatannya yang menjadi anggota Satgassus sejak 2019 hingga 2022. Dari dokumen itu diketahui ada perwira tinggi (pati), perwira menengah (pamen), perwira pertama (pama), bintara, dan tamtama yang menjadi anggota.

Dalam dokumen itu tertulis tugas mereka adalah menyelidik dan menyidik tindak pidana yang menjadi atensi pimpinan di dalam dan luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Satgassus disebut salah satu satuan non-struktural dalam tubuh Polri yang rangkaian tugas-tugasnya dibiayai dari anggaran dinas.

Berbekal tiga dokumen tersebut, Tim Kolaborasi mendalami sejumlah nama-nama polisi yang ada dalam Satgassus Merah Putih.

Nama polisi yang tidak asing adalah AKBP Roland Ronaldy dan AKBP Harun. Kedua polisi ini pernah tersangkut skandal perusakan barang bukti “Buku Merah” di KPK tahun 2017.

Dalam laporan kolaborasi IndonesiaLeaks, kasus perusakan “Buku Merah” ini berkaitan dengan catatan transaksi keuangan perusahaan milik Basuki Hariman kepada sejumlah pejabat. Dalam ‘Buku Merah’ itu tercatat nama Tito Karnavian diduga menerima aliran dana sebesar Rp8,1 miliar. IndonesiaLeaks merilis video CCTV detik-detik perusakan “Buku Merah”.

Dalam Satgassus Merah Putih 2019, Roland merupakan anggota subsatgas sidik I. Dalam Satgassus 2020 atau ketika menjadi Kapolres Bogor, Roland tercatat dalam daftar Tim Asistensi Wilayah. Kemudian dalam Sprin Satgassus 2022, Roland menjadi anggota tim lidik I.3 dan anggota tim sidik I.

Sementara Harun tercatat sebagai anggota Tim Sidik I-1 Satgassus 2019 (masih berpangkat kompol). Pada 2020, masuk dalam Tim Asistensi Wilayah, saat itu Harun menjabat Kapolres Lamongan. Harun juga tercatat di Sprin Satgassus 2022 sebagai anggota Anev (analisis & evaluasi).


Nama lain dalam dokumen Satgassus yang Tim Kolaborasi kenali adalah AKBP Roberto G.M Pasaribu. Ia tercatat sebagai anggota Satgassus 2019 dan 2020. Dalam Sprin Satgassus Polri tertanggal 6 Maret 2019, ia menjabat kepala tim (katim) Sidik I-1. Roberto adalah polisi yang ditugaskan untuk menangkap Dandhy.

Dandhy memberikan foto dokumen penangkapannya kepada Tim Kolaborasi untuk mengecek nama-nama polisi yang terlibat dalam penangkapannya.

Dari dokumen itu, Tim Kolaborasi menemukan, dari delapan nama polisi yang ditugaskan menangkap Dandhy, selain Roberto, ada dua polisi lain yang menjadi anggota Satgassus. Mereka adalah Kompol Adri Desas Furyanto dan Ipda Huntal.

Dalam Sprin Satgassus 2020 atau ketika jabatan kapolri beralih dari Tito Karnavian ke Idham Azis, nama Roberto kembali masuk dengan jabatan katim Sidik III. Ketika itu, pimpinan Satgassus adalah Ferdy Sambo, saat itu menjabat sebagai Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim. Kemudian, dalam Satgassus 2022, Roberto yang sudah berpangkat kombes menjadi bagian Tim Asistensi Wilayah.

Kompol Adri Desas Furyanto, penyidik lain dalam kasus Dandhy, tercatat sebagai anggota Satgassus Merah Putih tahun 2019. Secara struktural, Adri berada di bawah naungan Tim Sidik I-1 atau ‘anak buah’ Roberto kala itu.

Ipda Huntal yang juga ikut dalam penangkapan Dandhy adalah anggota Satgassus Merah Putih tahun 2020. Huntal menjadi anggota Tim Sidik III, di bawah Roberto. Huntal juga tercatat dalam Sprin Satgassus 2022 sebagai anggota tim sidik III, dengan pangkat iptu.

Dandhy kaget mendapati nama-nama polisi yang terlibat dalam penangkapannya, sebagian adalah anggota Satgassus. ”Ini jelas ngawur sekali, karena apa yang terjadi pada saya itu ngawur,” ujar Dandhy.

Ia bertanya-tanya, mengapa anggota Satgassus terlibat dalam penangkapannya?

Dari Urusan Narkoba Lalu Menyasar Aktivis

Satgassus Merah Putih pertama kali dibentuk pada era Kapolri Jenderal Tito Karnavian pada 2016. Tujuan awal pembentukannya untuk menangani perkara-perkara lintas direktorat di Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri. Namun, dalam perjalanannya, kewenangan Satgassus semakin luas.

Merujuk Sprin Satgassus 2019, 2020 dan 2022, setidaknya ada empat tindak pidana yang menjadi fokus penyelidikan dan penyidikan Satgassus: tindak pidana peredaran psikotropika-narkotika; tindak pidana pencucian uang (TPPU); pemberantasan korupsi; dan pelanggaran informasi dan transaksi elektronik (ITE).

Saat dipimpin Ferdy Sambo, Satgassus Merah Putih pernah membongkar kasus penyelundupan sabu seberat 821 kilogram. Kejadiannya di Serang pada Mei 2020. Sebulan kemudian, 4 Juni 2020, kelompok polisi elite ini kembali mengungkap peredaran narkotika jenis sabu di Sukabumi, Jawa Barat. Beratnya 402 kilogram. Pelakunya ditengarai terafiliasi dengan jaringan Iran.

Pada April 2021, tim gabungan Satgassus menggagalkan penyelundupan sabu seberat 2,5 ton yang masuk ke Indonesia melalui Aceh. Penyelundupan ini ditengarai terafiliasi dengan jaringan internasional Timur Tengah-Malaysia-Indonesia.

Salah satu sumber di kepolisian menyatakan Satgassus dibentuk Tito Karnavian dengan niat yang baik. Salah satunya mempersingkat proses administrasi dan birokrasi di kepolisian saat menangani berbagai masalah keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas).

Satgassus juga dibentuk untuk mendinginkan suhu keamanan yang panas akibat terpolarisasinya masyarakat pasca Pilkada DKI Jakarta pada 2017. Ketika itu, kubu pendukung Basuki Tjahaja Purnama berseberangan dengan kubu pendukung Anies Baswedan. Keduanya calon gubernur pada Pilkada DKI Jakarta 2017.

Namun, seiring waktu dan membesarnya kewenangannya, sumber tersebut menyatakan peran Satgassus justru melenceng dari tujuan awal. ”Karena tidak ada pengawasan [terhadap Satgassus Merah Putih], akibatnya rentan terjadi penyalahgunaan,” ujarnya

Tidak hanya kasus penangkapan Dandhy Dwi Laksono, Tim Kolaborasi juga menemukan jejak Satgassus Merah Putih dalam kasus-kasus lain.

Pertama, kasus dugaan korupsi dana Kemah dan Apel Pemuda Islam Indonesia 2017. Dalam kasus itu, Ahmad Fanani menjadi tersangka pada Juni 2019.

Fanani merupakan eks Ketua Pemuda Muhammadiyah yang punya kedekatan personal dengan Koordinator Jubir Prabowo-Sandi pada Pilpres 2019, Dahnil Anzar Simanjuntak. Ia juga calon ketua umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah (PPPM) dalam Muktamar Pemuda Muhammadiyah XVII di Yogyakarta pada November 2018.

Penyelidikan dugaan korupsi dana kemah dimulai sejak November 2018 atau sebelum Muktamar Pemuda Muhammadiyah XVII digelar. Polda Metro Jaya yang saat itu menangani kasus tersebut menduga ada mark up dalam laporan pertanggungjawaban dana kegiatan Kemah dan Apel Pemuda Islam 2017.

Dari penelusuran Tim Kolaborasi, berdasarkan dokumen S.Pgl/2979/VII/RES.3.3./2019/Dit Reskrimsus, tiga penyidik kasus Fanani terafiliasi dengan Satgassus Merah Putih.

Pertama adalah Kombes Iwan Kurniawan (saat ini berpangkat Brigjen). Dia menjabat anggota Pok Anev (Petunjuk Operasional Kegiatan Analisis & Evaluasi) pada Satgassus Merah Putih tahun 2019 dan Kepala Anev pada Satgassus 2020 dan 2022.

Penyidik yang kedua adalah AKBP Bhakti Suhendarwan. Dia menjabat Katim Sidik I-2 pada Satgassus 2019, dan anggota Tim Sidik I pada Satgassus 2020 dan 2022.

Sedangkan penyidik ketiga adalah AKP Emil Winarto. Dia menjabat anggota Tim Sidik I-2 (Satgassus 2019) dan anggota Sidik I (Satgassus 2020 dan 2022).

Kepada Tim Kolaborasi, Fanani membenarkan bahwa tiga anggota Satgassus itu adalah penyidik yang menangani kasusnya. Kecocokan itu bisa dilihat dari keterangan pangkat, NRP, dan kesatuan yang menaungi ketiganya.

”Nama-nama itu penyidik yang menangani kasus saya,” ujarnya.

Sama dengan kasus Dandhy, penyidikan kasus Fanani pun terkatung-katung sampai sekarang. Sampai lebih dari tiga tahun kemudian, statusnya pun masih tersangka. Tidak ada kejelasan dari pihak kepolisian, baik itu berupa surat pemberitahuan perkembangan hasil penyidikan maupun dokumen pemberitahuan lain.

”Ini tentu masalah serius buat Polri,” ungkap Fanani.



Urusan KPK dan Novel Baswedan

Tim Kolaborasi juga menemukan tiga nama anggota Satgassus Merah Putih yang identik dengan nama penyidik kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan. Penyelidikan dan penyidikan ini bergulir pada 2019-2020.

Kombes Dedy Murti Haryadi merupakan koordinator satuan tugas (satgas) penanganan kasus air keras. Mantan koordinator staf pribadi pimpinan Polri pada era Kapolri Jenderal Idham Azis ini menjabat Wakil Direktur Reserse Kriminal Umum (Wadireskrimum) Polda Metro Jaya ketika itu. Pangkatnya masih AKBP.

Dalam Sprin Satgassus Merah Putih 2019, Dedy menjabat sebagai Katim Sidik II-1. Sementara dalam Satgassus 2020, Dedy menjadi suksesor Sambo di sekretariat. Pada waktu itu, Sambo yang berpangkat Brigjen naik ke pucuk pimpinan Satgassus sebagai kepala. Dedy kembali menjabat sekretariat di Satgassus 2022. Jabatan Dedy di Polri saat ini masih koordinator staf pribadi pimpinan Polri.

Selain Dedy, ada dua nama anggota Satgassus Merah Putih yang menjadi penyidik kasus Novel.

Yang pertama adalah Kompol Raindra Ramadhan Syah. Dia tercatat sebagai anggota Tim Sidik II-1 dalam Satgassus 2019. Kemudian, Raindra yang berpangkat AKBP menjabat Katim Intelijen II dalam Satgassus 2020.

Raindra kembali masuk dalam struktur Satgassus 2022. Dia menjabat anggota Tim Sidik II dengan pangkat AKBP. Tak hanya terlibat di penyidikan air keras, Raindra tersangkut masalah etik di Polri seiring keterlibatannya dalam dugaan rekayasa pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat di rumah dinas Ferdy Sambo pada 8 Juli 2022.

Raindra yang pernah menjabat Kasubdit Keamanan Negara (Kamneg) dan Kasubdit 1 Ditreskrimum Polda Metro Jaya sempat berada di penempatan khusus (patsus) akibat keterlibatannya dalam kasus Sambo.

Selanjutnya, ada nama AKP Akhmad Fadilah. Dalam keanggotaan Satgassus tahun 2019, ia menjabat anggota Tim Sidik II-1. Jabatannya tidak berubah ketika Fadilah masuk dalam Satgassus 2020. Di struktur Satgassus 2022, Fadilah kembali menjadi anggota Tim Sidik II di bawah kendali Kasubsatgas Sidik II Kombes Hengki Haryadi.


Novel Baswedan membenarkan nama-nama penyidik itu kepada Tim Kolaborasi. ”Penanganan kasus saya sama sekali tidak berpihak pada korban dan terkesan sekadarnya saja,” ujarnya.

Novel menjadi sasaran penyiraman air keras pada 11 April 2017. Akibat serangan itu, Novel yang saat ini menjadi ASN Polri mengalami luka parah pada bagian mata.

Penanganan kasusnya sempat macet selama lebih dari dua tahun sebelum akhirnya Polri menetapkan dua tersangka pelaku pada akhir Desember 2019. Dua-duanya adalah polisi. Mereka adalah Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis. Dalam keterangannya, pelaku mengaku tidak suka pada Novel dan menyebut Novel sebagai “pengkhianat.”

Salah satu anggota tim advokasi Novel, Haris Azhar, meragukan motif tersebut. Menurutnya, motif itu mirip dengan kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia Munir Said Thalib. Pelaku pembunuhan Munir, Pollycarpus Budihari Priyanto, juga menuding Munir sebagai “pengkhianat”.

Novel melihat ada “relasi yang kuat” antara Satgassus Merah Putih dan penyiraman air keras dan pelemahan KPK yang berujung pada revisi UU KPK di DPR pada September 2019. Relasi ini bisa dilihat dengan mengidentifikasi nama-nama anggota Satgassus yang pernah menjadi penyidik KPK dari Polri.

Penelusuran Tim Kolaborasi menemukan empat eks penyidik KPK memang tergabung dalam Satgassus Merah Putih.

Selain Roland dan Harun, ada Irjen Adi Deriyan Jayamarta. Ia tercatat sebagai Kasubsatgas Sidik I pada Satgassus 2019. Adi juga termasuk dalam satgas penanganan kasus penyiraman air keras ketika menjabat sebagai Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya pada 2019. Kala itu pangkatnya masih kombes.

Kemudian AKBP Moh Irhamni. Perwira menengah Polri ini pernah menjadi penyidik KPK dan menangani kasus korupsi kakap Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Ia sempat berkonflik dengan penyidik KPK yang berstatus pegawai tetap seiring rencana ketua KPK waktu itu, Agus Rahardjo, yang hendak merekrut kembali Irhamni guna menyelesaikan kasus BLBI.

Dalam Satgassus Merah Putih tahun 2019, Irhamni tercatat menjadi anggota subsatgas Sidik I. Kemudian, Irhamni yang sudah naik pangkat menjadi kombes menjabat sebagai anggota anev (analisis & evaluasi) dalam Satgassus 2020 dan 2022.

Dari Kriminalisasi terhadap Haris Azhar & Fatia Maulidiyanti hingga Ravio Patra

Tim kolaborasi juga menemukan keterlibatan anggota Satgassus Merah Putih dalam kasus penetapan tersangka aktivis HAM Haris Azhar dan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Fatia Maulidiyanti.

Keduanya menjadi tersangka kasus dugaan pencemaran nama baik terhadap Menko Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan sejak 17 Desember 2021. Dalam proses penyidikan, teridentifikasi sejumlah nama anggota Satgassuss yang menjadi penyidik kedua aktivis tersebut.

Nama pertama adalah Kombes Auliyansyah Lubis yang berperan sebagai penyidik sekaligus Direktur Reserse Kriminal Khusus  Polda Metro Jaya. Dia menjabat anggota Pok Anev (Petunjuk Operasional Kegiatan analisis & Evaluasi) dalam Satgassus tahun 2019. Dalam Satgassus MP 2020, Lubis yang kala itu Kapolresta Semarang masuk dalam Tim Asistensi Wilayah. Kemudian, pada Satgassus 2022, Lubis menjabat Kasubsatgas Sidik III.

Di bawah Satgas Sidik III itu juga ada nama-nama penyidik yang menangani kasus Haris-Fatia. Di antaranya Kompol Rovan Richard Mahenu sebagai anggota. Dalam dokumen surat pemanggilan bernomor Spgl/4793/XII/RES.2.5./2021/Ditreskrimsus, Rovan tercatat sebagai pejabat sementara (PS) Kasubdit IV Tipidsiber Polda Metro Jaya.

Rovan juga ada dalam Sprin Satgassus 2019 dan 2020. Ia tercatat sebagai anggota Tim Lidik-1 dalam Satgassus 2019. Saat itu ia masih berpangkat AKP. Sementara dalam Satgassus 2020, Rovan yang berpangkat kompol tergabung anggota Tim Sidik III.

Selain Lubis dan Rovan, ada nama Kompol Welman Feri yang menjadi penyidik kasus Haris-Fatia. Bersama Rovan, Welman juga anggota Tim Sidik III dalam Satgassus 2020. Ia juga menjadi anak buah Lubis di Satgassus 2022 sebagai anggota Tim Sidik III.

Nama selanjutnya yang teridentifikasi dalam dokumen penyidikan Haris-Fatia dan Satgassus adalah Kompol Moh. Iskandarsyah. Perannya hampir sama dengan Rovan, yakni sebagai penyidik sekaligus mengurusi persuratan, termasuk surat pemanggilan saksi dan tersangka.

Dalam Satgassus Merah Putih 2019, Iskandarsyah tercatat sebagai anggota Tim Lidik III. Saat itu pangkatnya masih AKP. Kemudian, ia masuk jajaran anggota Tim Sidik II-1 dalam Satgassus 2020. Sementara, dalam Satgassus 2022, Iskandarsyah juga menjadi bawahan Lubis sebagai anggota Tim Sidik III.

Nama terakhir yang juga menangani penyidikan Haris-Fatia adalah AKP Sigit Santoso. Dia terbilang baru di Satgassus Merah Putih. Tergabung dalam Satgassus tahun 2022 sebagai anggota Tim Sidik III bersama Rovan, Welman, dan Iskandarsyah.



Haris berkata sudah mencium aroma kejanggalan dalam penanganan kasus pencemaran nama baik yang dilaporkan Luhut ke Polda Metro Jaya pada 22 September 2021 itu.

Kecurigaannya bermula saat ia hendak dijemput paksa polisi pada 18 Januari 2022. Ketika itu, ia berada di kantor Lokataru di kawasan Pulomas, Jakarta Timur.

”Mestinya saya dipanggil, diundang pakai surat, tapi malah didatangi pagi-pagi. Waktu itu saya belum mandi, masih pakai celana pendek,” kenang pendiri Lokataru Foundation itu.

Padahal, menurut Haris, yang boleh dijemput paksa adalah pihak yang tertangkap tangan. ”Kalau tidak tertangkap tangan harusnya dipanggil pakai undangan.”

Haris meyakini rentetan kasus yang ditangani anggota-anggota Satgassus Merah Putih saling terkait satu sama lain.

Ia juga menduga nama-nama anggota Satgassus Merah Putih punya tugas khusus untuk mempidanakan, merekayasa kasus, dan mengkriminalisasi orang-orang yang berseberangan dengan narasi penguasa.

“Jadi wajar kalau banyak desakan membongkar kinerja Satgassus ini,” ujarnya.

Fatia Maulidiyanti menyebut kasus yang menimpanya amat kental nuansa politis. Sebab, apa yang ia sampaikan tentang dugaan relasi antara Luhut dan bisnis pertambangan di Papua adalah hasil riset. Namun, hasil riset itu justru dibalas dengan pelaporan pidana.

”Saya punya bukti yang membuktikan kalau saya tidak bersalah,” ujarnya kepada Tim Kolaborasi.

Fatia cukup merasakan dampak dari proses pemidanaan yang dialaminya. Salah satunya dampak psikologis berupa rasa was-was ketika hendak melakukan sesuatu atau bepergian ke luar kota. ”Saya merasakan ada semacam self censorship dalam diri saya. Dan ada beberapa pekerjaan yang pada akhirnya terganggu karena status saya sebagai tersangka,” ujarnya.

Ia berharap kasus berbau politis dan diduga sarat rekayasa ini segera dihentikan. Tak hanya kasusnya, tapi juga kasus-kasus lain, terutama kasus dugaan pelanggaran ITE yang banyak sekali memakan korban.

”Beberapa korban (UU) ITE yang saya temui hampir semuanya menimbulkan dampak psikologis yang cukup parah,” ungkapnya.

Sama dengan Fatia, kejadian penangkapan berujung penetapan tersangka itu membuat Ravio Patra trauma. Namun, saat ini kondisi psikologinya jauh lebih baik. ”Sekarang saya setiap bertindak apa pun selalu berasumsi there is someone is watching me,” imbuhnya.

Ravio Patra adalah aktivis sekaligus peneliti kebijakan publik. Kritiknya terhadap pemerintah dibalas dengan penangkapan oleh polisi-polisi di Polda Metro Jaya. Ia ditangkap pada 22 April 2020 atas dugaan pelanggaran ITE.

Hasil identifikasi Tim Kolaborasi, ada dua polisi dalam penanganan kasus Ravio yang jadi bagian dari Satgassus Merah Putih.

Mereka adalah Kombes Hengki Haryadi dan AKP Akhmad Fadilah. Dalam laporan ini, Fadilah juga masuk dalam daftar penyidik yang menangani kasus penyiraman air keras Novel Baswedan.

Sementara Hengki merupakan perwira menengah Polda Metro yang menjabat Kasubsatgas Sidik IV pada Satgassus 2019. Ia juga anggota tim medsos & perbankan pada Satgassus 2020. Dalam Satgassus 2022, Hengki menjadi Kasubsatgas sidik II.

Hengki juga masuk dalam pusaran kasus pelanggaran etik Polri dalam kasus Ferdy Sambo. Ia diduga terlibat dalam rekayasa kasus pembunuhan Yosua. Hengki yang saat ini menjabat Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro sempat diperiksa Inspektorat Khusus Polri.

Dalam kasus Ravio, Hengki menjadi kuasa hukum Polda Metro Jaya selaku termohon dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Kasus Ravio bermula ketika polisi mendapat informasi ada ajakan penjarahan nasional serentak tanggal 30 April 2020 melalui WhatsApp. Ajakan itu diklaim polisi berasal dari ponsel milik Ravio. Sementara Ravio sendiri, sebelum ajakan penjarahan itu menyebar, telah mengumumkan bahwa WhatsApp dia telah diretas dan di luar kendalinya.

Ravio ingat waktu itu aparat kepolisian menangkapnya tanpa surat tugas. Ia sempat ditodong pistol oleh petugas berperawakan besar. ”Gue bedil, lu, kutembak kena, mati kau!” ujar Ravio menirukan gertakan polisi yang menodongkan pistol tersebut.

Ancaman itu jelas membuat Ravio ketakutan. ”Ketika ditodong pistol, saya sudah nggak berani.”

Waktu itu Ravio dibawa ke Subdirektorat Kejahatan dan Kekerasan (Jatanras) Polda Metro yang dipimpin AKBP Jerry Raimond Siagian.

Penelusuran Tim Kolaborasi, Jerry teridentifikasi dalam Satgassus Merah Putih. Masing-masing menempati Katim Sidik II-3, tim lidik I-2, dan Katim Lidik II.3 di Satgassus 2019, 2020, dan 2022.

Nama Jerry tersandung persoalan etik di Polri dalam kasus Ferdy Sambo. Komisi Kode Etik Polri menyatakan Jerry terbukti bersalah telah membantu Sambo dalam upaya merekayasa kasus pembunuhan Yosua. Jerry lantas divonis hukuman pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) atau dipecat dari Polri dalam sidang etik pada 12 September 2022.

Selama di Jatanras, Ravio ingat dikepung beberapa polisi dan ditanyai banyak hal. ”Sempat ditanyai hubungan saya dengan Belanda itu apa, dan hubungan saya dengan Inggris itu apa,” tuturnya. Pertanyaan-pertanyaan itu membuat Ravio bingung. ”Sebenarnya saya dituduh salah apa?” terangnya.

Dari Jatanras, Ravio kemudian dibawa ke Subdirektorat Keamanan Negara Polda Metro Jaya yang kala itu dipimpin Raindra Ramadhan Syah. Penempatan itu lagi-lagi membuat Ravio bingung bercampur panik. ”Kok dibawa ke keamanan negara, setahu saya keamanan negara itu, kan, urusan sama (masalah) terorisme?” katanya.

Mendesak Evaluasi Kerja Satgassus Merah Putih

Sederet kasus-kasus kontroversi di atas semakin menajamkan pertanyaan, apa hubungan Satgassus Merah Putih dengan indikasi rekayasa kasus dan kriminalisasi aktivis dan tokoh vokal?

Tim kolaborasi telah meminta konfirmasi Tito Karnavian (Kapolri periode Juli 2016-Oktober 2019), Idham Azis (Kapolri periode 1 November 2019-27 Januari 2021), dan Divisi Humas Polri untuk menjawab pertanyaan tersebut. Namun, hasilnya nihil.

Tito Karnavian, saat ini menjabat Menteri Dalam Negeri, belum merespons surat permohonan wawancara yang dikirimkan Tim Kolaborasi. Upaya yang sama dilakukan untuk mendapatkan jawaban dari Idham Azis. Sementara, Divisi Humas Polri menolak menjawab saat dikonfirmasi Tim Kolaborasi pada 21 September pekan ini.

Kabag Penum Kombes Pol Nurul Azizah, yang menerima kedatangan Tim Kolaborasi, mengatakan perlu berkoordinasi dengan atasan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait Satgassus Merah Putih. Sampai laporan ini dirilis, Nurul belum memberikan kabar tentang “hasil koordinasi” yang dimaksudnya.

Terkait aktivitas Satgassus Merah Putih, Ahmad Fanani mendesak Kapolri tidak berhenti membubarkan Satgassus tapi juga melakukan evaluasi besar-besaran.

”Kapolri perlu melakukan penyelidikan pada kinerja Satgassus. Bahkan, kalau perlu dilakukan audit secara terperinci,” katanya.

Hal serupa ditegaskan Haris Azhar. Ia meminta anggota Satgassus yang terlibat dalam dugaan kriminalisasi aktivis harus dibongkar. ”Semua yang identik itu harus diungkap dengan evaluasi formal,” katanya.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) M. Isnur mengatakan pertanyaan-pertanyaan lain yang harus dijawab adalah terkait pendanaan Satgassus selama ini. Menurutnya, setiap operasi penanganan perkara membutuhkan biaya yang tidak sedikit. ”Operasi itu, kan, mahal. Dari mana biayanya?” ujarnya.

Pertanyaan soal pendanaan itu, kata Isnur, harus segera dijawab agar tidak menimbulkan spekulasi liar. ”Apakah itu berhubungan dengan relasi pembiayaan yang ada di [bagan] Kaisar Sambo 303 itu?” lanjutnya.

Isnur khawatir jika skema pendanaan yang tidak jelas itu dibiarkan maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi hal serupa di kemudian hari. ”Kalau [Satgassus] ternyata menjadi alat pengumpul dana itu sangat bahaya,” pungkas Isnur.

×
Berita Terbaru Update
close